Jumat, 29 Januari 2010

Rasionalitas Robot atau Manusia?

Dalam ilmu ekonomi, diasumsikan bahwa manusia selalu berperilaku rasional. Keputusan individu dianggap rasional apabila keputusan tersebut konsisten. Permasalahannya adalah bahwa ketika konsistensi dijunjung tinggi, sering kali keputusan yang dilakukan tidak sesuai dengan konteks pengambilan keputusan.

Misalnya, para penggemar minuman anggur pasti lebih menyukai minuman anggur daripada jus jeruk. Tapi apakah mereka akan tetap meminum anggur ketika sarapan? Jawabannya jelas tidak.

Definisi rasionalitas di ilmu ekonomi mensyaratkan konsistensi pengambilan keputusan. Namun, ketika konsistensi tidak mempertimbangkan konteks saat pengambilan keputusan diambil, kita jadi bertanya, apakah ini rasionalitas manusia ataukah rasionalitas robot?

Pengertian rasionalitas di ilmu ekonomi lebih tepat digunakan untuk menganalisis robot daripada manusia.

Manusia rasional, menurut ilmu ekonomi, tidak lebih dari sekadar seperangkat superkomputer yang bisa berjalan dan mengenakan pakaian. Manusia rasional, seperti halnya robot atau komputer, sangat menjunjung tinggi konsistensi pengambilan keputusan tanpa mempertimbangkan konteks dan suasana yang melingkupi saat pengambilan keputusan tersebut.

Unsur psikologis, unsur sosial-budaya, bahkan agama maupun identitas etnik, sering kali berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh manusia. Rasa cinta, dengki, iri, takut, marah adalah contoh dari beberapa faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan manusia.

Hal itulah yang membuat sistem pengambilan keputusan oleh manusia tidak bisa didasarkan perhitungan matematis semata, namun sebenarnya sangat kompleks dan masih merupakan misteri untuk difahami.

Boleh saja seseorang memiliki pendapatan yang terbatas dan terpaksa hidup sederhana. Namun ketika dia jatuh cinta dan ingin membahagiakan pasangannya, sering kali seseorang melakukan pengeluaran yang lebih tinggi daripada pengeluaran rata-ratanya.

Sering kali kita jumpai orang terpaksa berutang agar bisa merayakan pernikahan anaknya dengan pantas. Tentu saja istilah pantas di sini sangat subjektif dan sangat bervariasi antara satu daerah dan daerah lain.

Di beberapa daerah terpencil di Pulau Jawa, masih banyak masyarakat yang merayakan perhelatan pernikahan minimal tiga hari tiga malam dengan berbagai pertunjukan kesenian. Apakah semua masyarakat di daerah tersebut kaya raya? Jawabannya tentu saja tidak, namun tradisi tersebut masih dilakukan masyarakat hingga kini.

Contoh klasik lain adalah apa yang terjadi pada perang Kurst, yang terjadi saat tentara Jerman menginvasi Uni Soviet saat Perang Dunia II, dan Perang Vietnam.

Tidak dimungkiri bahwa pada kedua perang tersebut, baik tentara Nazi Jerman maupun tentara Amerika Serikat, sama-sama menderita kehilangan korban jiwa yang jauh lebih sedikit dibandingkan lawan-lawan mereka.

Namun pertanyaannya, mengapa justru kedua negara tersebut yang mundur dari medan peperangan?
Kalau saja rasionalitas ekonomi yang digunakan oleh pihak Nazi Jerman dan Amerika Serikat pada kedua perang tersebut, idealnya mereka tidak akan mundur dari medan perang. Perhitungan matematis menunjukkan lebih banyak tentara Uni Soviet yang gugur daripada tentara Nazi. Hal yang sama terjadi pada pihak Amerika Serikat relatif dibandingkan pihak Vietnam Utara.

Keputusan kedua negara tersebut mundur dari perang ternyata bukan disebabkan oleh perhitungan matematis yang kaku semacam itu.

Bagi Nazi Jerman dan Amerika Serikat, nilai anak bangsa yang gugur ternyata secara subjektif sangat tinggi, melebihi penilaian kedua negara lawan mereka. Di samping itu, banyak faktor di luar unsur teknis perang yang menjadi pertimbangan, antara lain masalah ketersediaan logistik dan tekanan politis.

Kembali ke psikologi pasar, jika keputusan di level individu masih merupakan misteri bagi ekonom kelas dunia sekalipun, hal yang sama terjadi pada psikologi pasar.

Psikologi pasar sangat sulit ditebak, terlebih di negara sedang berkembang yang sistem perekonomiannya sarat dengan ketidaktentuan.

Perhitungan matematik dan statistik sering kali tidak mampu menerangkan kompleksitas keputusan di tingkat individu maupun psikologi pasar. Pada titik seperti ini, manusia pada umumnya tidak akan mengikuti rasionalitas ekonomi yang lebih cocok untuk robot. Manusia cenderung mengambil keputusan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang melingkupi saat pengambilan keputusan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim kritik dan saran :